Minggu, 05 November 2017

sejarah perhotelan di dunia

Sejarah hotel di dunia

Menurut beberapa sumber tertulis, pada masa Romawi telah muncul rumah-rumah penginapan yang disebut “mansiones” di sepanjang jalan-jalan utama kota yang disewakan untuk para pelancong. Mansiones sendiri berarti flat. Antara satu mansiones dengan mansiones lainnya biasanya berjarak hingga puluhan kilometer.
Pada masa-masa selanjutnya, ketika bepergian jauh semakin banyak dilakukan orang, khususnya untuk kegiatan dagang, ziarah, maupun aktivitas militer, rumah-rumahpenginapan pun semakin banyak didirikan.
Di sepanjang jalur-jalur perdagangan dunia dan kota-kota kuno, seperti Yerusalem, Baghdad, Makkah, Cordoba, Roma, maupun Konstantinopel, ada banyak penginapan yang didirikan. Persinggungan antara Barat dan Timur dalam Perang Salib (dimulai 1096 M) berperan penting dalam melahirkan kota-kota baru di sepanjang Asia Kecil, yaitu wilayah Turki yang memanjang ke Syiria dan akhirnya Palestina.
Di sepanjang jalur ini, ada banyak penginapan yang diperuntukkan bagi para prajurit dan para peziarah yang ingin berkunjung ke Palestina. Bahkan, pada Abad Pertengahan, kehadiran rumah-rumah penginapan ini mendapat dukungan dari otoritas gereja untuk kepentingan para peziarah.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu setelah Abad Pertengahan, rumah-rumah penginapan tidak hanya menyediakan fasilitas penginapan, tetapi juga mulai melengkapinya dengan fasilitas pendukung lainnya, semacam bar, salon, dan kedaimakanan. Jumlah kamar pun mulai diperbanyak hingga mencapai puluhan.
Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya hotel dalam makna sebenarnya, yaitugedung tempat singgah yang menyediakan fasilitas lengkap.
Lahirnya Hotel-Hotel Modern

Pada abad ke-18, di kota-kota besar Eropa dan Amerika, mulai bermunculan hotel-hotel yang menjadi awal lahirnya hotel-hotel modern.
Hotel Covent Garden yang dirikan tahun 1774 misalnya, selain memiliki fasilitas lengkap—untuk zamannya—dan jumlah kamar yang banyak, berdampingan langsung dengan bioskop dekat Westminsfer di London. Ada pula City Hotel di New York dengan kapasitas 170 kamar yang didirikan pada 1794.
Industri perhotelan berkembang pesat pada abad ke-19. Hotel-hotel modern mulai didirikan di banyak kota besar, semacam London, Paris, New York, Boston, San Fransisco, dan lainnya. Para pengelola hotel-hotel ini tidak hanya menawarkan paket pelayanan tempat tinggal sementara, tetapi juga mulai menyediakan tempat pertemuan dan konferensi beserta perangkat teknologi terbaru, semacam telepon dan televisi.
Bahkan, pada akhir abad ke-19, muncul hotel-hotel dengan label khusus, misalkan hotel untuk business travellers semisal Ellsworth Milton Statler Hotel di New York yang didirikan tahun 1880. Hotel ini pun merupakan chain hotel alias jaringan hotel pertama di dunia. Hotel mewah pun mulai bermunculan semisal Hotel Waldorf-Astoria (didirikan tahun 1896) di New York dan The Brown Palace di Denver, Colorado. Keduanya termasuk hotel dengan tingkat kunjungan tertinggi di Amerika masa itu.
Pada abad ke-20, khususnya setelah berakhirnya Perang Dunia I, jumlah hotel semakin meningkat seiring perkembangan alat-alat transportasi massal dan berkembangnya bisnis travel. Hotel-hotel baru ini banyak didirikan di sekitar pusat-pusat bisnis.
Hal lain yang turut mempengaruhi adalah berkembangnya dunia pariwisata yang kemudian melahirkan hotel-hotel resort yang menawarkan paket penginapan sekaligus akomodasi. Pada masa ini, sejak tahun 1920-an, sekolah-sekolah perhotelan pun mulai bermunculan di banyak tempat. Pada masa berlangsungnya Perang Dunia ke-2, dan masa-masa sesudahnya, bisnis perhotelan berkembang pesat. Akan tetapi, pada masa itu hampir tidak ada hotel baru yang dibangun.
Para pengelola lebih memilih untuk mengembangkan hotel yang ada, baik dari segi fasilitas, kualitas pelayanan, dan manajemen, termasuk berpindahnya kepemilikan hotel dari pribadi ke dalam sebuah korporasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, industri hotel-hotel besar di Amerika mulai melebarkan sayapnya ke luar negeri dengan menggunakan sistem franchise. Lahirlah jaringan hotel-hotel besar di bawah sebuah korporasi besar, semisal Hilton, Hyatt, JW Marriots, dan sebagainya.
Lokasi Didirikannya Hotel
Hal penting lainnya dari sejarah perkembangan hotel dunia lokasi didirikannya hotel tersebut. Selama masa kolonial, hotel-hotel biasanya dibangun di kota-kota pelabuhan.
Akan tetapi, pada akhir abad ke-18, seiring meningkatnya penggunaan gerbong kereta api, ada banyak rumah penginapan dan kedai-kedai yang didirikan di dekat stasiun kereta api. Kondisi ini kembali berubah.
Ketika mobil dan pesawat terbang telah menjadi alat transportasi massa, seperti saat sekarang, lokasi hotel pun tidak selalu dekat pelabuhan laut atau stasiun kereta api, tetapi di tempat-tempat lain yang mudah dijangkau alat transportasi, khususnya di pinggiran jalan-jalan raya utama.

PARIWISATA DAN PERHOTELAN



Sejarah Hotel Des Indes
Hotel yang paling megah di Batavia pada masa Belanda digusur pada 1971. Hotel yang terletak di kawasan Harmoni, tepatnya Jalan Gajah Mada, pernah berfungsi sebagai tempat perjamuan negara Hindia Belanda dan tamu-tamu negara sebelum dibangunnya Hotel Indonesia di Jalan Thamrin pada 1962.

Kompleks Hotel Des Indes, yang berbatasan dengan Bank Tabungan Negara (BTN) di Jalan Jaga Monyet (kini Jalan Suryopranoto) dan Chaulanweg (kini Jalan Hasyim Ashari), pernah didatangi kepala-kepala negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1955. Meski KAA berlangsung di Bandung, sebagian dari mereka tinggal di Hotel Des Indes Jakarta, demikian pula saat KIAA (Konferensi Islam Asia-Afrika).

Foto yang diabadikan pada 1930-an ini merupakan gedung baru Hotel Des Indes yang dirancang AIA Bureau dan selesai dibangun pada Maret 1930. Hotel yang telah beberapa kali mengalami perubahan ini didirikan pada abad ke-19 di atas tanah seluas 3,1 hektare.

Ketika dibongkar pada 1971, hotel ini berusia 161 tahun. Sampai 1960-an, Hotel Des Indes memfasilitasi acara-acara perkawinan masyarakat golongan atas. Berbagai pesta keramaian berlangsung di sini.

Walaupun dirancang dengan gaya arsitektur lebih modern, menurut Nadia Purwestri, direktur eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur, bangunan ini tetap mempunyai teras yang lebar dan jendela-jendela besar sebagai ventilasi udara. Hal ini membuat ruang dalam tetap sejuk walaupun di luar panas.

Pada abad ke-19, saat jamuan-jamuan makan, termasuk makan malam, selalu disediakan es yang kala itu masih merupakan barang yang sangat mewah. Warga Barat yang umumnya tidak tahan terhadap udara panas selalu menyediakan es saat makan dan minum.

Pada pertengahan abad ke-19, untuk meminum es, seseorang harus mendatangkannya dari Boston, AS. Orang Jakarta menyebutnya es batu yang sampai awal 1960-an dijual di warung-warung Cina dan pedagang minuman di tepi jalan.

Dalam mengimpor es, diperlukan waktu hampir setengah tahun perjalanan dari Boston ke Batavia. Untuk pertama kalinya, kapal bermuatan es dari Boston berlabuh di Ceylon (Sri Lanka) pada April 1840. Lalu, mengapa harus mengimpor es ke Nusantara?

Pada waktu itu, orang belum mengenal lemari es. Untuk mendinginkan minuman, orang menggunakan koelbak, semacam peti yang dilapis timah hitam. Di dalamnya, diisi air dan salpeter (semacam sendawa atau anorganik kimia).

Untuk menghidangkan minuman dingin, orang membungkus botol minuman dengan kain dingin. Pabrik es baru pertama kali dibangun pemerintah pada 1870 di Prapatan, Jakarta Pusat. Kemudian, di Petojo, Jakarta Pusat. Sampai awal 1970-an, kulkas merupakan barang mewah di Jakarta dan jarang yang memilikinya.
Sejarah hotel der Nederlanden

HOTEL der Nederlanden boleh jadi hanya diingat oleh sebagian kecil warga asli Jakarta. Sebagian warga lainnya, pernah mendengar tentang keberadaan hotel di Rijswijk (Jalan Veteran) ini, atau bahkan pernah membaca di salah satu buku sejarah Batavia. Hotel der Nederlanden adalah salah satu hotel ternama di Batavia pada abad 19. 

Hotel ini berdiri di atas tanah yang sangat luas di Rijswijk dan membentang sepanjang jalan di belakangnya, Jalan Medan Merdeka Utara (Koningsplein Noord).

Di sisi barat hotel yang dibangun pada 1794 itu berdiri bangunan yang berfungsi sebagai rumah dinas gubernur jenderal sedangkan bangunan studio fotografi Woodbury & Page ada di sisi sebelah timur dari hotel itu. Hotel itu sudah tak bersisa lagi. Di atas lahan itu dibangun Bina Graha, bekas kantor Presiden RI Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun.

Pieter Tency, pemilik awal bangunan yang kemudian menjadi Hotel der Nederlanden, semula membangun gedung itu untuk ia tinggal. Kemudian ia menjual gedung itu ke salah satu anggota Dewan Hindia Belanda, WH van Ijsseldijk. Dari tangan Ijsseldijk, bangunan ini kembali berpindah pemilik. Pemilik baru yang membeli bangunan itu pada 1811 tak lain adalah Thomas Stamford Raffles, yang berkuasa di Jawa pada periode 1811-1816.   

Dalam buku Batavia in Nineteenth Century Photographs, Scott Merrillees menyebutkan, Raffles kemudian menjual kembali rumah itu ke pemerintah Belanda saat harus hengkang dari Jawa pada 1816. Johannes Petrus Faes, pemilik selanjutnya, mengubah bangunan itu menjadi Hotel Place Royale pada 1840. Pada 1846 barulah Hotel der Nederlanden yang terletak tak jauh dari Sungai Ciliwung (membelah Rijswijk -Noordwijk), diresmikan pada bangunan yang sama.

Sebagai hotel yang dinilai terbaik pada zaman itu di kawasan elit Rijswijk, tampaknya pengelola hotel teledor perihal desain, interior, perlengkapan furnitur di hotel sampai pada posisi kamar tidur yang langsung menghadap galeri.  Tamu pria di hotel itu bebas berkeliaran dengan kaki telanjang sambil merokok, penghuni hotel baik pria maupun wanita selalu mengamati pengunjung hotel yang baru datang bagaikan tak pernah melihat manusia lain.  Alhasil pengunjung perempuan asal Amerika yang datang di tahun 1890-an menyatakan kecewa menginap di hotel yang disebut bangsa Belanda sebagai hotel terbaik.

Di awal abad 20 bangunan hotel ini dibangun ulang karena kehadiran Hotel des Indes mulai mengambilalih posisi der Nederlanden. Der Nederlanden bertahan hingga 1940-an sebelum kemudian pada 1950-an berganti nama menjadi Hotel Dharma Nirmala selanjutnya menjadi Markas Cakrabirawa. Pada 1969, Ibnu Sutowo berinisiatif membuat Bina Graha di atas lahan bekas hotel dan rumah Raffles itu.  Gedung ini berada tak jauh dari Istana Merdeka dan Istana Negara.


Sejarah hotel sarkies dan oranje
Sebelum bernama hotel Majapahit, dahulu hotel ini berkali-kali berganti nama. Awal dibangun pada tahun 1910 oleh Lucas Martin Sarkies, hotel ini dinamakan Hotel Oranje.

Lucas Martin Sarkies, merupakan keturunan generasi kedua dari Martin Sarkies yang dikenal dengan sebutan Sarkies bersaudara (Martin, Tigran, Arshak dan Aviet).
Sarkies bersaudara  pada saat itu terkenal akan bisnis hotelnya di Asia Tenggara. Terinspirasi hal tersebut, Lucas Martin Sarkies membeli tanah di Surabaya dan menjadikannya hotel yang memiliki konsep Art Nouveau, hasil desainer terkenal pada masa itu yaitu Alfred Bidwell.

Karena kemasyurannya pula, hotel ini dikunjungi oleh orang-orang terpandang seperti, Leopold III, Princess Astrid, Charlie Chaplin, Paulette Goddard dan Joseph Conrad.

Pada tahun 1910, saat didirikan hotel ini bernama Hotel Oranje, kemudian pada saat pendudukan Jepang pada tahun 1942 hotel ini berganti nama  menjadi Hotel Yamato, dan berganti nama menjadi Hotel Merdeka ketika kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Satu tahun kemudian, keturunan Sarkies mengambil alih hotel dan mengubah nama hotel ini menjadi Lucas Martin Sarkies atau disingkat L.M.S. Penamaan L.M.S bertujuan untuk mengenang Lucas Martin Sarkies sebagai pendiri Hotel Oranje.

Masuknya Mantrust Holding Co. sebagai pemilik baru pada tahun 1969, kembali mengubah nama hotel ini menjadi Hotel Majapahit. Pada tahun 1993 berubah menjadi Mandarin Oriental dan terakhir kembali lagi menjadi Hotel Majapahit hingga Sekarang.

Sebagai hotel yang berkaitan dengan sejarah kemerdekaan Indonesia dan memiliki arsitektur yang menarik, Hotel Majapahit ditetapkan sebagai penerima penghargaan National Herritage Landmark Indonesia. Tidak hanya itu, hotel ini juga menerima penghargaan dari National Geographic Award in Architecture and Design.

 Du Pavillon
otel Du Pavillon adalah salah satu hotel termewah di kota ini pada awal abad ke 20. Hotel ini dibangun pada tahun 1847, namun direnovasi kembali secara besar-besaran tahun 1913. Hal ini dilakukan untuk menyambut tamu-tamu yang akan menghadiri perhelatan Koloniale Tentoonstelling tahun 1914, sebuah pameran yang dianggap terbesar di Asia Tenggara saat itu.  

Dalam renovasi ini, bangunannya mulai dilengkapi jaringan listrik yang memadai dengan pemasangan lampu-lampu yang indah dan modern. Sanitary juga sudah memanfaatkan metode sanitary yang sehat, sampai dengan melengkapi kamar mandi pribadi di setiap kamar. Pada bangunan baru disampingnya, ditambahkan 50 kamar tidur. Kamar tidur di desain luas dan nyaman serta dilengkapi sejumlah meubel mewah. Ruang makannya terdapat tempat duduk yang mampu menampung 150 orang. Selama makan malam disediakan life musik yang menampilkan band-band terkemuka. Manajeman hotel diatur berdasarkan standar internasional bahkan koki utama hotel berasal dari Eropa. Seluruh anggota staffnya berjumlah 18 orang dan jumlah pelayan lokal ada 80 orang.

Renovasi  hotel ini memakan biaya ƒ 250.000. sedangkan modal perusahaan berjumlah  ƒ 365.000, – Para direkturnya diantaranya Mr. SJ Bergsma, Mr. A. Wilkens, dan Mr C. Soesman. Sedangkan jabatan manajer dipegang oleh  Mr G.A. van de Peppel. Mr.  Peppel adalah seorang manajer yang selama beberapa tahun menangani hotel di London dan Paris.

Sebagaimana layaknya hotel pada masa sekarang, pelayanan transportasi untuk para tamu tak bisa diabaikan. Pihak hotel menyediakan 80 ekor kuda dengan 50 gerbong kereta kuda. Disamping itu juga disediakan 12 mobil yang disimpan dalam garasi. Mobil-mpbil ini juga dapat  disewakan pada para tamu yang ingin bepergian. Hotel mewah nan nyaman ini letaknya sangat dekat dari kantor pos dan di pusat kota yang saat itu berada di kawasan kota lama.. Hal ini bisa dimengerti mengingat kantor pos merupakan sarana komunikasi yang terpenting pada masa itu. Juga lokasi hotel tidak jauh dari Stasiun Tawang sehingga wisatawan dapat langsung menuju hotel tersebut karena letaknya cukup dekat.

Sayangnya hotel yang juga pernah menjadi saksi sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang tersebut makin hari makin tidak terawat. Kerusakan sudah muncul disana-sini. Beberapa bagian bangunan sudah roboh karena konstruksinya yang makin melemah dimakan usia. Padahal interior bangunan ini memiliki nilai artistik yang tinggi. Disamping itu Hotel Dibya Puri berdasarkan UU No 11 Tahun 2009 dinyatakan sebagai cagar budaya yang harus dikonservasi.

Sejarah Palace hotel
Mungkin, tidak begitu banyak yang mengetahui bahwa Palace Hotel Malang merupakan salah satu bagian sejarah perhotelan di Indonesia. 

Dari berbagai buku Pariwisata Indonesia Dari Masa Ke Masa, Hotel Palace Malang tercatat sebagai hotel yang sudah hadir pada saat zaman kolonial Belanda.

Konon kehadiran dan dibangunnya hotel-hotel seiring dengan perkembangan kedatangan wisatawan asing ke Indonesia yang sudah dikenal sebagai destinasi wisata sejak sebelum Perang Dunia ke- 1. Hal ini membuat Belanda semakin gencar meningkatkan keberadaan hotel-hotel di Indonesia


Sejarah hotel grand atau garuda
Pada tahun ini dibangun Hotel Inna Garuda yang berlokasi di Jalan Malioboro No. 60. Saat penyelesaian Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial ingin membangun sebuah hotel di lokasi strategis pada pusat Jogjakarta, yakni di Jalan Malioboro. Hotel ini yang merupakan hotel paling besar dan paling mewah saat itu memiliki nama Grand Hotel De Djokdja.

Hotel ini mulai beroperasi tahun 1911 dan hanya menampung tamu militer Belanda. Pada 1938, hotel ini dibentuk kembali dalam dua sayap di sisi kanan dan kiri serta bangunan utama di tengah. Pada tahun 1942 Jepang datang dan menaklukkan Indonesia termasuk Jogjakarta serta hotel ini. Jepang kemudian mengubah nama hotel menjadi Hotel Asahi. Pada 1945 nama hotel ini diganti menjadi Hotel Merdeka setelah diambil alih oleh Indonesia dari tangan Jepang. Pemerintah Indonesia mengganti nama hotel menjadi Hotel Garuda pada tahun 1950 dan pada tahun 1975 pemerintah memberikan keperccayaan kepada PT. Natour untuk menjalankan hotel. Tahun 1982 PT. Natour melalukan renovasi kepada hotel sehingga mengganti nama hotel menjadi Hotel Natour Garuda. Pada bulan Maret 2001, PT. Natour bergabung dengan PT. Hotel Indonesia dan nama hotel diubah menjadi Hotel Inna Garuda hingga saat ini.

Hotel yang termasuk ke dalam hotel bintang empat ini terdiri atas 7 lantai, 223 kamar, dan memiliki 18 ruang pertemuan, sebuah area pameran yang luas untuk kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition), empat restoran dan sebuah bar yang menawarkan beragam gaya masakan.
Sejarah hotel Savoy Homann
Pendahulu hotel ini yaitu Hotel Homann, punya keluarga Homann, yang di kenal bakal sajian rijsttafel buatan Ibu Homann yang lezat. Pada th. 1939, bangunan yang saat ini dirancang dengan design gelombang samudera bergaya art deco karya Albert Aalbers. Untuk menyatakan kebesarannya, kata " Savoy " ditambahkan, yang ditambahkan pada th. 1940 serta terus sekian sampai th. 1980-an.

Lalu dikerjakan modifikasi kecil-kecilan (pintu masuk diperbesar, pembuatan toilet di jalan masuk, menambahkan AC di depan). Hotel Savoy Homann ini mempunyai pekarangan dalam (jauh dari jalan raya), serta tamu bisa nikmati sarapan di hawa terbuka.
Sesudah Kemerdekaan Indonesia, hotel ini di ambil alih oleh oleh group hotel Bidakara, hingga namanya jadi tambah jadi Savoy Homann Bidakara Hotel.

Hotel Savoy Homann awalannya bernama Hotel Homann.  Bangunan hotel ini dirancang oleh arsitek Belanda bernama Albert F. Aalbers serta dipunyai keluarga Homann pada akhir 1800-an. Homann yaitu seseorang imigran Jerman yang tiba di Bandung pada th. 1870. Saat pembangunannya usai, gedung ini bertukar nama jadi Hotel Savoy pada th. 1939.
 
Bangunan Hotel Savoy Homann juga mulai sejak waktu itu jadi satu diantara bangunan lambang kota Bandung lantaran arsitektur art deco-nya yang menarik untuk dilihat para wisatawan.
 
Hotel Homann atau mungkin Savoy atau mungkin Hotel Savoy Homann pernah disinggahi oleh beberapa orang populer seperti Raja serta Ratu Thailand (akhir th. 1890), Charlie Chaplin serta Mary Pickford (th. 1927), Perdana menteri India PJ Nehru serta Presiden Mesir Gamal Abdul Naseer (th. 1955), Istri bangsawan dari Westminster, Inggris dsb. Charlie Chaplin bahkan juga terdaftar pernah bertandang kian lebih satu kali.
Sejarah Grand Hotel Preanger
Sejarah Grand Hotel Preanger dimulai dari Priangan planters (pemilik perkebunan) yang sering menghabiskan akhir pekan mereka di Bandung. Pada saat itu, kebutuhan utama mereka disediakan oleh sebuah toko di Groote Postweg (sekarang menjadi Jalan Asia Afrika). 

Keberadaan toko tersebut tidak berjalan lama dan mengalami kebangkrutan pada tahun 1897.
Oleh seorang Belanda bernama W.H.C Van Deeterkom, toko tersebut diubah menjadi sebuah hotel yang diberi nama Hotel Thiem, yang kemudian berubah nama menjadi Hotel Preanger. Baru pada tahun 1920, nama Hotel Preanger berubah menjadi Grand Hotel Preanger

Grand Hotel Preanger–bangunan bergaya Indische Empire–akhirnya direnovasi dan didisain ulang pada tahun 1929 oleh C.P.Wolff Schoemaker dan dibantu oleh muridnya, Ir. Soekarno (Presiden RI pertama). Bangunan bergaya Art Deco tersebut menjadi landmark dan kebanggan kota Bandung dan gaya arsitekturnya tetap dipertahankan hingga kini.Sejak tahun 1957, Grand Hotel Preanger dinasionalisasi menjadi milik negara dan pengelolaan hotel pun diambil alih dari perusahaan Belanda kepada Perusahaan Daerah Jawa Barat. 

Sejak saat itu Grand Hotel Preanger banyak mengalami pergantian pengelola hingga akhirnya, pada tahun 1987 (melalui BOT) dikelola oleh PT Bina Inti DInamika (BID) yang sahamnya dimiliki oleh PT Aero Wisata (anak perusahaan PT Garuda Indonesia) dan PT Martel (Medco Group), dan dioperasikan oleh Aerowisata Hotel Management (AHM).Pada tahun 1988, Grand Hotel Preanger menambah kapasitas jumlah kamar dan fasilitas hotel dengan bangunan tower setinggi 10 lantai yang kemudian dilanjutkan dengan renovasi pada tahun 2010 – 2013. Meskipun ada pengembangan dan renovasi, bangunan bersejarah tetap dipertahankan dan ornamen art deco pun diaplikasikan pada interior baru untuk mempertahankan ciri khas Grand Hotel Preanger sebagai Heritage Art Deco Building.
Sejarah Hotel Salak
Hotel Salak The Heritage dibangun 1856 dengan nama Belleuve Dibbets, sejak September 1998 hotel ini direnovasi dan dibuka kembali dengan arsitektur bergaya kolonial modern. Hotel Salak The Heritage menjadi saksi sejarah Bogor dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi. Sepintas Hotel Salak The Heritage tampak seperti gedung hotel yang masih baru hal ini disebabkan telah dilakukan renovasi untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas dari Hotel Salak The Heritage. Hotel ini merupakan satu-satunya hotel yang terletak di depan Istana Kepresidenan Bogor di sebelah Balai Kota tepatnya di Jl. Ir. H. Juanda No 8 Bogor yang didirikan di real seluas 8.227 m2.
 
Menurut sejarah pada zaman penjajahan Belanda Hotel salak The Heritage yang pada mulanya didirikan dan ditujukan untuk kalangan elit istana dan dimilki oleh keluarga istana. Perubahan zaman yang terus terjadi juga turut membuat Hotel Salak The Heritage berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
 
Pada dasarnya Hotel Salak The Heritage Bogor adalah hotel milik Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang dikelola dengan sistem kerja sama operasi dengan PT Anugrah Jaya Agung. Maka dengan demikian Hotel Salak The Heritage ini dapat melakukan pengembangan usahanya dengan tambahan modal dan dukungan dari kerja sama tersebut. Didukung semakin majunya kota Bogor, Hotel Salak The Heritage juga melakukan tindakan-tindakan dalam mengembangkan sekaligus mempertahankan eksistensinya sebagai hotel yang yang paling terkenal di kota Bogor. Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen hotel merupakan salah satu strategi manajemen untuk mempertahankan sekaligus meningkatkan kualitas dari Hotel Salak the Heritage mulai dari renovasi, kerjasama dengan supplier hingga tersedianya berbagai fasilitas lengkap merupakan strategi yang dilakukan oleh pihak manajemen.Tidak berhenti sampai di situ saja, Hotel Salak The Heritage juga terus melakukan inovasi yang membuat hotel ini menjadi semakin terkenal akan kualitasnya.  
Sejarah Hotel Van Hengel
Dahulu Hotel Panghegar yang berlokasi di Kota Bandung bernama Van Hengel. Van Hengel berdiri di Jalan Merdeka sejak1922. Pemiliknya saat itu seorang perempuan asal Italia bernama Anna Meister yg bersuamikan orang Belanda.

Hotel Van Hengel menjadi saksi sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung di Gedung Merdeka, Kota Bandung 1955. Sejumlah tamu dan delegasi dari berbagai negara menginap di beberapa hotel yang salah satunya Hotel Van Hengel.

Era tahun 60-an, Nyonya Meister menjual hotel tersebut kepada salah satu karyawan kepercayaannya yaitu H.E.K Ruhiyat. Ruhiyat, pria kelahiran Sumedang 4 April 1923, itu mengawali kerja di Hotel Van Hengel sebagai petugas pembukuan perusahaan. Dia bergabung di tempat tersebut sekitar tahun 1943. Karier Ruhiyat moncer pada 1958 setelah menduduki jabatan manajer.
Ruhiyat mengganti nama Van Hengel menjadi Panghegar pada 1960. Pengubahan nama hotel dilakukan karena ketidaksengajaan penyebutan oleh tentara Jepang yang sulit melafalkan Van Hengel menjadi 'Pang Hegaro'. Kemudian Ruhiyat mengganti kata dengan bahasa Sunda. "Pang artinya 'Yang Membuat' dan Hegar bermakna 'Bersih dan Menyenangkan',"

Memasuki tahun 1984, Panghegar naik kelas menjadi hotel berbintang. Tahun itu juga Ruhiyat mendirikan Restoran Panyawangan yang mampu berputar 360 derajat yang diresmikan Menteri Pariwisata Achmad Taher. Restoran unik bertengger di atap hotel tersebut merupakan ikon fenomenal. Pada 5 Juni 1997, Restoran Panyawangan terdaftar di Museum Rekor Indonesia (MURI) lantaran dinilai sebagai restoran berputar pertama di Indonesia.Hingga kini Panghegar dicap sebagai salah satu hotel legendaris di Kota Bandung, bahkan Indonesia 
Sejarah Hotel De Boer
Inna Dharma Deli merupakan satu hotel peninggalan zaman Hindia Belanda.Dari banyak gedung bersejarah di Medan,bangunan hotel yang dulunya bernama De Boer ini merupakan salah satu gedung bersejarah yang masih dipertahankan.Hotel Dharma Deli merupakan satu unit hotel dari PT National Hotels and Tourism Corp Ltd (Natour) yang merupakan persero pemerintah di lingkungan Kementerian Pariwisata Pos dan Telekomunikasi RI yang bergerak dalam bidang jasa perhotelan dan restoran.

Manajer Marketing Hotel Inna Dharma Deli Sahrial Azhar mengungkapkan bahwa Hotel Dharma Deli merupakan penggabungan dua unit hotel, yaitu Hotel Wisma Deli dan Hotel Dharma Bakti (eks Hotel De Boer). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 4/1973 dinyatakan bahwa eks Hotel Wisma Deli dan eks unit Hotel Dharma Bakti (eks Hotel De Boer) dijadikan satu unit,yaitu unit Hotel Dharma Deli dan dimasukkan dalam modal negara Indonesia pada PT Natour.

Berdasarkan surat keputusan Direksi PT Natour No 2272/SK/76 berlaku sejak 1 April 1976, sesuai kebijaksanaan dalam efisiensi dan perkembangan kepariwisataan dan upgrading unit, Hotel Dharma Bakti dengan Hotel Wisma Deli digabungkan menjadi satu unit usaha dengan nama Hotel Dharma Deli. Hotel Dharma Bakti awalnya merupakan hotel milik perusahaan Belanda bernama NV Hotel Mijn De Boer dan didirikan pada 1878.Pada 1909, Hotel De Boer ditingkatkan hingga memiliki 40 kamar dengan 400 buah lampu.Pada 14 Desember 1957, dalam rangka nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda,Hotel NV Mijn De Boer diambil alih pemerintah Indonesia.

Letjen Jamin Ginting, Panglima T7T-I/BB, sebagai pengurus Militer Daerah Provinsi Sumut diserahi kuasa dari pihak pengurus/kuasa NV Hotel Mijn De Boer dan NV Grend Hotel, yaitu Hendrik Erselink. Hingga saat ini, bangunan eks Hotel De Boer masih dipertahankan. Posisinya berada di bagian tengah yang berlantai dua dan memiliki 51 kamar. Sementara itu, Hotel Wisma Deli yang didirikan pada 1965 mulanya merupakan tempat akomodasi yang fungsinya semacam mes dengan restoran dan bar.Namun, melihat perkembangannya secara bertahap, hotel ini memperluas operasionalnya.Pada 1968,mereka merampungkan penambahan tiga kamar sehingga total menjadi 15 kamar.
 
Pada 1970, perluasan dan penambahan kamar telah dilakukan dengan mendirikan bangunan bertingkat III di tambah ground floor sehingga kamarnya menjadi 24 unit. Kemudian, menurut Sahrial, pada 1975 kembali dilakukan perluasan dengan pembangunan gedung bertingkat dua dengan jumlah kamar yang dibangun sebanyak 10 unit sehingga tersedia 49 kamar. Saat ini,Hotel Inna Dharma Deli secara keseluruhan telah memiliki 176 kamar dan bangunan yang digunakan untuk kantor.”Saat ini, bangunan hotel kami terbagi tiga bagian,pertama High Risebuilding yang terdiri atas delapan tingkat dengan 82 kamar.Kemudian, eks Hotel De Boer dua tingkat dengan 51 kamar dan terakhir Garden Wing atau eks Wisma Deli dengan 49 kamar,” paparnya.

Sales Executive Hotel Inna Dharma Deli Nelly Gultom menambahkan, manajemen hotel masih berupaya tetap mempertahankan bangunan eks Hotel De Boer. Bahkan, bangunan hotel warisan Belanda ini sama sekali tidak mengalami perubahan.”Tidak ada yang kami ubah. Kami hanya melakukan pengecatan dan penggantian keramik lantai karena banyak keramiknya yang pecah,”ungkapnya. Berdasarkan pantauan SINDO, bangunan hotel eks De Boer yang berada di posisi tengah memang masih seperti bangunan yang dulu mirip dengan foto aslinya.Arsitektur bangunan hingga ornamen tempo dulu tetap dipertahankan.

Peneliti dari Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Ilmu Sosial (Pusis) Unimed Eron Damanik mengungkapkan, mereka sudah beberapa kali meninjau keberadaan Hotel Dharma Deli. Hingga saat ini, bangunan eks Hotel De Boer itu masih dipertahankan. ”Dari penelitian yang kami lakukan paling tidak 80% bangunan Hotel De Boer masih tetap dipertahankan.Kebijakan ini merupakan hal yang baik sehingga Hotel Dharma Deli tidak sekadar tempat menginap, tetapi pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang sejarah hotel itu,” paparnya.