Hotel yang paling megah di Batavia pada masa Belanda
digusur pada 1971. Hotel yang terletak di kawasan Harmoni, tepatnya Jalan Gajah
Mada, pernah berfungsi sebagai tempat perjamuan negara Hindia Belanda dan
tamu-tamu negara sebelum dibangunnya Hotel Indonesia di Jalan Thamrin pada
1962.
Kompleks Hotel Des Indes, yang berbatasan dengan Bank Tabungan Negara
(BTN) di Jalan Jaga Monyet (kini Jalan Suryopranoto) dan Chaulanweg
(kini Jalan Hasyim Ashari), pernah didatangi kepala-kepala negara peserta
Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1955. Meski KAA berlangsung di Bandung,
sebagian dari mereka tinggal di Hotel Des Indes Jakarta, demikian pula saat
KIAA (Konferensi Islam Asia-Afrika).
Foto yang diabadikan pada 1930-an ini merupakan gedung baru Hotel Des Indes
yang dirancang AIA Bureau dan selesai dibangun pada Maret 1930. Hotel yang
telah beberapa kali mengalami perubahan ini didirikan pada abad ke-19 di atas
tanah seluas 3,1 hektare.
Ketika dibongkar pada 1971, hotel ini berusia 161 tahun. Sampai 1960-an, Hotel
Des Indes memfasilitasi acara-acara perkawinan masyarakat golongan atas.
Berbagai pesta keramaian berlangsung di sini.
Walaupun dirancang dengan gaya arsitektur lebih modern, menurut Nadia
Purwestri, direktur eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur, bangunan ini tetap
mempunyai teras yang lebar dan jendela-jendela besar sebagai ventilasi udara.
Hal ini membuat ruang dalam tetap sejuk walaupun di luar panas.
Pada abad ke-19, saat jamuan-jamuan makan, termasuk makan malam, selalu
disediakan es yang kala itu masih merupakan barang yang sangat mewah. Warga
Barat yang umumnya tidak tahan terhadap udara panas selalu menyediakan es saat
makan dan minum.
Pada pertengahan abad ke-19, untuk meminum es, seseorang harus mendatangkannya
dari Boston, AS. Orang Jakarta menyebutnya es batu yang sampai awal 1960-an
dijual di warung-warung Cina dan pedagang minuman di tepi jalan.
Dalam mengimpor es, diperlukan waktu hampir setengah tahun perjalanan dari
Boston ke Batavia. Untuk pertama kalinya, kapal bermuatan es dari Boston
berlabuh di Ceylon (Sri Lanka) pada April 1840. Lalu, mengapa harus
mengimpor es ke Nusantara?
Pada waktu itu, orang belum mengenal lemari es. Untuk mendinginkan minuman,
orang menggunakan koelbak, semacam peti yang dilapis timah hitam. Di dalamnya,
diisi air dan salpeter (semacam sendawa atau anorganik kimia).
Untuk menghidangkan minuman dingin, orang membungkus botol minuman dengan kain
dingin. Pabrik es baru pertama kali dibangun pemerintah pada 1870 di Prapatan,
Jakarta Pusat. Kemudian, di Petojo, Jakarta Pusat. Sampai awal 1970-an, kulkas
merupakan barang mewah di Jakarta dan jarang yang memilikinya.
Sejarah hotel der Nederlanden
HOTEL der Nederlanden boleh jadi hanya diingat oleh sebagian
kecil warga asli Jakarta. Sebagian warga lainnya, pernah mendengar tentang
keberadaan hotel di Rijswijk (Jalan Veteran) ini, atau bahkan pernah membaca di
salah satu buku sejarah Batavia. Hotel der Nederlanden adalah salah satu hotel
ternama di Batavia pada abad 19.
Hotel ini berdiri di atas tanah yang sangat luas di
Rijswijk dan membentang sepanjang jalan di belakangnya, Jalan Medan Merdeka
Utara (Koningsplein Noord).
Di sisi barat hotel yang dibangun pada 1794 itu
berdiri bangunan yang berfungsi sebagai rumah dinas gubernur jenderal sedangkan
bangunan studio fotografi Woodbury & Page ada di sisi sebelah timur dari
hotel itu. Hotel itu sudah tak bersisa lagi. Di atas lahan itu dibangun Bina
Graha, bekas kantor Presiden RI Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 30
tahun.
Pieter Tency, pemilik awal bangunan yang kemudian
menjadi Hotel der Nederlanden, semula membangun gedung itu untuk ia tinggal.
Kemudian ia menjual gedung itu ke salah satu anggota Dewan Hindia Belanda, WH
van Ijsseldijk. Dari tangan Ijsseldijk, bangunan ini kembali berpindah pemilik.
Pemilik baru yang membeli bangunan itu pada 1811 tak lain adalah Thomas
Stamford Raffles, yang berkuasa di Jawa pada periode 1811-1816.
Dalam buku Batavia in Nineteenth Century Photographs,
Scott Merrillees menyebutkan, Raffles kemudian menjual kembali rumah itu ke
pemerintah Belanda saat harus hengkang dari Jawa pada 1816. Johannes Petrus
Faes, pemilik selanjutnya, mengubah bangunan itu menjadi Hotel Place Royale
pada 1840. Pada 1846 barulah Hotel der Nederlanden yang terletak tak jauh dari
Sungai Ciliwung (membelah Rijswijk -Noordwijk), diresmikan pada bangunan yang
sama.
Sebagai hotel yang dinilai terbaik pada zaman itu di
kawasan elit Rijswijk, tampaknya pengelola hotel teledor perihal desain,
interior, perlengkapan furnitur di hotel sampai pada posisi kamar tidur yang
langsung menghadap galeri. Tamu pria di hotel itu bebas berkeliaran
dengan kaki telanjang sambil merokok, penghuni hotel baik pria maupun wanita
selalu mengamati pengunjung hotel yang baru datang bagaikan tak pernah melihat
manusia lain. Alhasil pengunjung perempuan asal Amerika yang datang di
tahun 1890-an menyatakan kecewa menginap di hotel yang disebut bangsa Belanda
sebagai hotel terbaik.
Di awal abad 20 bangunan hotel ini dibangun ulang
karena kehadiran Hotel des Indes mulai mengambilalih posisi der Nederlanden.
Der Nederlanden bertahan hingga 1940-an sebelum kemudian pada 1950-an berganti
nama menjadi Hotel Dharma Nirmala selanjutnya menjadi Markas Cakrabirawa. Pada
1969, Ibnu Sutowo berinisiatif membuat Bina Graha di atas lahan bekas hotel dan
rumah Raffles itu. Gedung ini berada tak jauh dari Istana Merdeka dan
Istana Negara.
Sejarah hotel sarkies dan oranje
Sebelum
bernama hotel Majapahit, dahulu hotel ini berkali-kali berganti nama. Awal
dibangun pada tahun 1910 oleh Lucas Martin Sarkies, hotel ini dinamakan Hotel
Oranje.
Lucas Martin
Sarkies, merupakan keturunan generasi kedua dari Martin Sarkies yang dikenal
dengan sebutan Sarkies bersaudara (Martin, Tigran, Arshak dan Aviet).
Sarkies
bersaudara pada saat itu terkenal akan bisnis hotelnya di Asia Tenggara.
Terinspirasi hal tersebut, Lucas Martin Sarkies membeli tanah di Surabaya dan
menjadikannya hotel yang memiliki konsep Art Nouveau, hasil desainer terkenal
pada masa itu yaitu Alfred Bidwell.
Karena
kemasyurannya pula, hotel ini dikunjungi oleh orang-orang terpandang seperti,
Leopold III, Princess Astrid, Charlie Chaplin, Paulette Goddard dan Joseph
Conrad.
Pada tahun
1910, saat didirikan hotel ini bernama Hotel Oranje, kemudian pada saat
pendudukan Jepang pada tahun 1942 hotel ini berganti nama menjadi Hotel Yamato,
dan berganti nama menjadi Hotel Merdeka ketika kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945.
Satu tahun
kemudian, keturunan Sarkies mengambil alih hotel dan mengubah nama hotel ini
menjadi Lucas Martin Sarkies atau disingkat L.M.S. Penamaan L.M.S bertujuan
untuk mengenang Lucas Martin Sarkies sebagai pendiri Hotel Oranje.
Masuknya
Mantrust Holding Co. sebagai pemilik baru pada tahun 1969, kembali mengubah
nama hotel ini menjadi Hotel Majapahit. Pada tahun 1993 berubah menjadi
Mandarin Oriental dan terakhir kembali lagi menjadi Hotel Majapahit hingga
Sekarang.
Sebagai
hotel yang berkaitan dengan sejarah kemerdekaan Indonesia dan memiliki
arsitektur yang menarik, Hotel Majapahit ditetapkan sebagai penerima
penghargaan National Herritage Landmark Indonesia. Tidak hanya itu, hotel ini
juga menerima penghargaan dari National Geographic Award in Architecture and
Design.
Du Pavillon
otel Du
Pavillon adalah salah satu hotel termewah di kota ini pada awal abad ke 20.
Hotel ini dibangun pada tahun 1847, namun direnovasi kembali secara
besar-besaran tahun 1913. Hal ini dilakukan untuk menyambut tamu-tamu yang akan
menghadiri perhelatan Koloniale Tentoonstelling tahun 1914, sebuah pameran yang
dianggap terbesar di Asia Tenggara saat itu.
Dalam
renovasi ini, bangunannya mulai dilengkapi jaringan listrik yang memadai
dengan pemasangan lampu-lampu yang indah dan modern. Sanitary juga
sudah memanfaatkan metode sanitary yang sehat, sampai dengan
melengkapi kamar mandi pribadi di setiap kamar. Pada bangunan baru
disampingnya, ditambahkan 50 kamar tidur. Kamar tidur di desain luas dan
nyaman serta dilengkapi sejumlah meubel mewah. Ruang makannya terdapat
tempat duduk yang mampu menampung 150 orang. Selama makan malam disediakan life
musik yang menampilkan band-band terkemuka. Manajeman hotel diatur berdasarkan
standar internasional bahkan koki utama hotel berasal dari Eropa. Seluruh
anggota staffnya berjumlah 18 orang dan jumlah pelayan lokal ada 80 orang.
Renovasi
hotel ini memakan biaya ƒ 250.000. sedangkan modal perusahaan berjumlah
ƒ 365.000, – Para direkturnya diantaranya Mr. SJ Bergsma, Mr. A.
Wilkens, dan Mr C. Soesman. Sedangkan jabatan manajer dipegang oleh Mr
G.A. van de Peppel. Mr. Peppel adalah seorang manajer yang selama
beberapa tahun menangani hotel di London dan Paris.
Sebagaimana
layaknya hotel pada masa sekarang, pelayanan transportasi untuk para tamu tak
bisa diabaikan. Pihak hotel menyediakan 80 ekor kuda dengan 50 gerbong
kereta kuda. Disamping itu juga disediakan 12 mobil yang disimpan dalam garasi.
Mobil-mpbil ini juga dapat disewakan pada para tamu yang ingin bepergian.
Hotel mewah nan nyaman ini letaknya sangat dekat dari kantor pos dan di pusat
kota yang saat itu berada di kawasan kota lama.. Hal ini bisa dimengerti
mengingat kantor pos merupakan sarana komunikasi yang terpenting pada masa itu.
Juga lokasi hotel tidak jauh dari Stasiun Tawang sehingga wisatawan dapat
langsung menuju hotel tersebut karena letaknya cukup dekat.
Sayangnya
hotel yang juga pernah menjadi saksi sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang
tersebut makin hari makin tidak terawat. Kerusakan sudah muncul disana-sini.
Beberapa bagian bangunan sudah roboh karena konstruksinya yang makin melemah
dimakan usia. Padahal interior bangunan ini memiliki nilai artistik yang
tinggi. Disamping itu Hotel Dibya Puri berdasarkan UU No 11 Tahun 2009
dinyatakan sebagai cagar budaya yang harus dikonservasi.
Sejarah Palace hotel
Mungkin, tidak begitu banyak yang mengetahui bahwa Palace Hotel Malang
merupakan salah satu bagian sejarah perhotelan di Indonesia.
Dari berbagai buku Pariwisata Indonesia Dari Masa Ke Masa, Hotel Palace
Malang tercatat sebagai hotel yang sudah hadir pada saat zaman kolonial
Belanda.
Konon kehadiran dan dibangunnya hotel-hotel seiring dengan perkembangan
kedatangan wisatawan asing ke Indonesia yang sudah dikenal sebagai destinasi
wisata sejak sebelum Perang Dunia ke- 1. Hal ini membuat Belanda semakin gencar
meningkatkan keberadaan hotel-hotel di Indonesia
Sejarah hotel grand atau garuda
Pada tahun ini dibangun Hotel Inna Garuda yang
berlokasi di Jalan Malioboro No. 60. Saat penyelesaian Belanda di Indonesia,
pemerintah kolonial ingin membangun sebuah hotel di lokasi strategis pada pusat
Jogjakarta, yakni di Jalan Malioboro. Hotel ini yang merupakan hotel paling
besar dan paling mewah saat itu memiliki nama Grand Hotel De Djokdja.
Hotel ini mulai beroperasi tahun 1911 dan hanya
menampung tamu militer Belanda. Pada 1938, hotel ini dibentuk kembali dalam dua
sayap di sisi kanan dan kiri serta bangunan utama di tengah. Pada tahun 1942
Jepang datang dan menaklukkan Indonesia termasuk Jogjakarta serta hotel ini.
Jepang kemudian mengubah nama hotel menjadi Hotel Asahi. Pada 1945 nama
hotel ini diganti menjadi Hotel Merdeka setelah diambil alih oleh
Indonesia dari tangan Jepang. Pemerintah Indonesia mengganti nama hotel menjadi
Hotel Garuda pada tahun 1950 dan pada tahun 1975 pemerintah memberikan
keperccayaan kepada PT. Natour untuk menjalankan hotel. Tahun 1982 PT. Natour
melalukan renovasi kepada hotel sehingga mengganti nama hotel menjadi Hotel
Natour Garuda. Pada bulan Maret 2001, PT. Natour bergabung dengan PT. Hotel
Indonesia dan nama hotel diubah menjadi Hotel Inna Garuda hingga saat
ini.
Hotel yang termasuk ke dalam hotel bintang empat ini
terdiri atas 7 lantai, 223 kamar, dan memiliki 18 ruang pertemuan, sebuah area
pameran yang luas untuk kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Conference, and
Exhibition), empat restoran dan sebuah bar yang menawarkan beragam gaya
masakan.
Sejarah hotel Savoy Homann
Pendahulu hotel ini yaitu Hotel Homann, punya keluarga
Homann, yang di kenal bakal sajian rijsttafel buatan Ibu Homann yang lezat.
Pada th. 1939, bangunan yang saat ini dirancang dengan design gelombang
samudera bergaya art deco karya Albert Aalbers. Untuk menyatakan kebesarannya,
kata " Savoy " ditambahkan, yang ditambahkan pada th. 1940 serta
terus sekian sampai th. 1980-an.
Lalu dikerjakan modifikasi kecil-kecilan (pintu masuk diperbesar, pembuatan
toilet di jalan masuk, menambahkan AC di depan). Hotel Savoy Homann ini
mempunyai pekarangan dalam (jauh dari jalan raya), serta tamu bisa nikmati
sarapan di hawa terbuka.
Sesudah Kemerdekaan Indonesia, hotel ini di ambil alih oleh oleh group hotel
Bidakara, hingga namanya jadi tambah jadi Savoy Homann Bidakara Hotel.
Hotel Savoy Homann awalannya bernama Hotel Homann. Bangunan hotel ini
dirancang oleh arsitek Belanda bernama Albert F. Aalbers serta dipunyai
keluarga Homann pada akhir 1800-an. Homann yaitu seseorang imigran Jerman yang
tiba di Bandung pada th. 1870. Saat pembangunannya usai, gedung ini bertukar
nama jadi Hotel Savoy pada th. 1939.
Bangunan Hotel Savoy Homann juga
mulai sejak waktu itu jadi satu diantara bangunan lambang kota Bandung lantaran
arsitektur art deco-nya yang menarik untuk dilihat para wisatawan.
Hotel Homann atau mungkin Savoy atau mungkin Hotel Savoy Homann pernah disinggahi oleh
beberapa orang populer seperti Raja serta Ratu Thailand (akhir th. 1890),
Charlie Chaplin serta Mary Pickford (th. 1927), Perdana menteri India PJ Nehru
serta Presiden Mesir Gamal Abdul Naseer (th. 1955), Istri bangsawan dari
Westminster, Inggris dsb. Charlie Chaplin bahkan juga terdaftar pernah
bertandang kian lebih satu kali.
Sejarah Grand Hotel Preanger
Sejarah Grand Hotel Preanger dimulai
dari Priangan planters (pemilik perkebunan) yang sering menghabiskan akhir
pekan mereka di Bandung. Pada saat itu, kebutuhan utama mereka disediakan oleh
sebuah toko di Groote Postweg (sekarang menjadi Jalan Asia Afrika).
Keberadaan
toko tersebut tidak berjalan lama dan mengalami kebangkrutan pada tahun 1897.
Oleh seorang
Belanda bernama W.H.C Van Deeterkom, toko tersebut diubah menjadi sebuah hotel
yang diberi nama Hotel Thiem, yang kemudian berubah nama menjadi Hotel
Preanger. Baru pada tahun 1920, nama Hotel Preanger berubah menjadi Grand Hotel
Preanger
Grand Hotel
Preanger–bangunan bergaya Indische Empire–akhirnya direnovasi dan didisain
ulang pada tahun 1929 oleh C.P.Wolff Schoemaker dan dibantu oleh
muridnya, Ir. Soekarno (Presiden RI pertama). Bangunan bergaya Art Deco
tersebut menjadi landmark dan kebanggan kota Bandung dan gaya arsitekturnya
tetap dipertahankan hingga kini.Sejak tahun 1957, Grand Hotel Preanger
dinasionalisasi menjadi milik negara dan pengelolaan hotel pun diambil alih
dari perusahaan Belanda kepada Perusahaan Daerah Jawa Barat.
Sejak saat
itu Grand Hotel Preanger banyak mengalami pergantian pengelola hingga akhirnya,
pada tahun 1987 (melalui BOT) dikelola oleh PT Bina Inti DInamika (BID) yang
sahamnya dimiliki oleh PT Aero Wisata (anak perusahaan PT Garuda Indonesia) dan
PT Martel (Medco Group), dan dioperasikan oleh Aerowisata Hotel Management
(AHM).Pada tahun 1988, Grand Hotel Preanger menambah kapasitas jumlah kamar
dan fasilitas hotel dengan bangunan tower setinggi 10 lantai yang kemudian
dilanjutkan dengan renovasi pada tahun 2010 – 2013. Meskipun ada pengembangan
dan renovasi, bangunan bersejarah tetap dipertahankan dan ornamen art deco pun
diaplikasikan pada interior baru untuk mempertahankan ciri khas Grand Hotel
Preanger sebagai Heritage Art Deco Building.
Sejarah Hotel Salak
Hotel Salak The Heritage dibangun 1856 dengan nama
Belleuve Dibbets, sejak September 1998 hotel ini direnovasi dan dibuka kembali
dengan arsitektur bergaya kolonial modern. Hotel Salak The Heritage menjadi
saksi sejarah Bogor dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru
hingga Reformasi. Sepintas Hotel Salak The Heritage tampak seperti gedung hotel
yang masih baru hal ini disebabkan telah dilakukan renovasi untuk meningkatkan
dan mempertahankan kualitas dari Hotel Salak The Heritage. Hotel ini merupakan
satu-satunya hotel yang terletak di depan Istana Kepresidenan Bogor di sebelah
Balai Kota tepatnya di Jl. Ir. H. Juanda No 8 Bogor yang didirikan di real
seluas 8.227 m2.
Menurut sejarah pada zaman penjajahan Belanda Hotel
salak The Heritage yang pada mulanya didirikan dan ditujukan untuk kalangan
elit istana dan dimilki oleh keluarga istana. Perubahan zaman yang terus
terjadi juga turut membuat Hotel Salak The Heritage berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pada dasarnya Hotel Salak The Heritage Bogor adalah
hotel milik Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang dikelola dengan sistem
kerja sama operasi dengan PT Anugrah Jaya Agung. Maka dengan demikian Hotel
Salak The Heritage ini dapat melakukan pengembangan usahanya dengan tambahan
modal dan dukungan dari kerja sama tersebut. Didukung semakin majunya kota
Bogor, Hotel Salak The Heritage juga melakukan tindakan-tindakan dalam mengembangkan
sekaligus mempertahankan eksistensinya sebagai hotel yang yang paling terkenal
di kota Bogor. Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen hotel
merupakan salah satu strategi manajemen untuk mempertahankan sekaligus
meningkatkan kualitas dari Hotel Salak the Heritage mulai dari renovasi,
kerjasama dengan supplier hingga tersedianya berbagai fasilitas lengkap
merupakan strategi yang dilakukan oleh pihak manajemen.Tidak berhenti sampai di
situ saja, Hotel Salak The Heritage juga terus melakukan inovasi yang membuat
hotel ini menjadi semakin terkenal akan kualitasnya.
Sejarah Hotel Van Hengel
Dahulu Hotel Panghegar yang berlokasi di Kota Bandung
bernama Van Hengel. Van Hengel berdiri di Jalan Merdeka sejak1922. Pemiliknya
saat itu seorang perempuan asal Italia bernama Anna Meister yg bersuamikan
orang Belanda.
Hotel Van Hengel menjadi saksi sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang
berlangsung di Gedung Merdeka, Kota Bandung 1955. Sejumlah tamu dan delegasi
dari berbagai negara menginap di beberapa hotel yang salah satunya Hotel Van
Hengel.
Era tahun 60-an, Nyonya Meister menjual hotel tersebut kepada salah satu
karyawan kepercayaannya yaitu H.E.K Ruhiyat. Ruhiyat, pria kelahiran Sumedang 4
April 1923, itu mengawali kerja di Hotel Van Hengel sebagai petugas pembukuan
perusahaan. Dia bergabung di tempat tersebut sekitar tahun 1943. Karier Ruhiyat
moncer pada 1958 setelah menduduki jabatan manajer.
Ruhiyat mengganti nama Van Hengel menjadi Panghegar
pada 1960. Pengubahan nama hotel dilakukan karena ketidaksengajaan penyebutan
oleh tentara Jepang yang sulit melafalkan Van Hengel menjadi 'Pang Hegaro'.
Kemudian Ruhiyat mengganti kata dengan bahasa Sunda. "Pang artinya 'Yang
Membuat' dan Hegar bermakna 'Bersih dan Menyenangkan',"
Memasuki tahun 1984, Panghegar naik kelas menjadi
hotel berbintang. Tahun itu juga Ruhiyat mendirikan Restoran Panyawangan yang
mampu berputar 360 derajat yang diresmikan Menteri Pariwisata Achmad Taher.
Restoran unik bertengger di atap hotel tersebut merupakan ikon fenomenal. Pada
5 Juni 1997, Restoran Panyawangan terdaftar di Museum Rekor Indonesia (MURI)
lantaran dinilai sebagai restoran berputar pertama di Indonesia.Hingga kini
Panghegar dicap sebagai salah satu hotel legendaris di Kota Bandung, bahkan
Indonesia
Sejarah Hotel De Boer
Inna Dharma Deli merupakan satu hotel peninggalan
zaman Hindia Belanda.Dari banyak gedung bersejarah di Medan,bangunan hotel yang
dulunya bernama De Boer ini merupakan salah satu gedung bersejarah yang masih
dipertahankan.Hotel Dharma Deli merupakan satu unit hotel dari PT National
Hotels and Tourism Corp Ltd (Natour) yang merupakan persero pemerintah di
lingkungan Kementerian Pariwisata Pos dan Telekomunikasi RI yang bergerak dalam
bidang jasa perhotelan dan restoran.
Manajer Marketing Hotel Inna Dharma Deli Sahrial Azhar
mengungkapkan bahwa Hotel Dharma Deli merupakan penggabungan dua unit hotel,
yaitu Hotel Wisma Deli dan Hotel Dharma Bakti (eks Hotel De Boer). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No 4/1973 dinyatakan bahwa eks Hotel Wisma Deli dan
eks unit Hotel Dharma Bakti (eks Hotel De Boer) dijadikan satu unit,yaitu unit
Hotel Dharma Deli dan dimasukkan dalam modal negara Indonesia pada PT Natour.
Berdasarkan surat keputusan Direksi PT Natour No
2272/SK/76 berlaku sejak 1 April 1976, sesuai kebijaksanaan dalam efisiensi dan
perkembangan kepariwisataan dan upgrading unit, Hotel Dharma Bakti dengan Hotel
Wisma Deli digabungkan menjadi satu unit usaha dengan nama Hotel Dharma Deli.
Hotel Dharma Bakti awalnya merupakan hotel milik perusahaan Belanda bernama NV
Hotel Mijn De Boer dan didirikan pada 1878.Pada 1909, Hotel De Boer
ditingkatkan hingga memiliki 40 kamar dengan 400 buah lampu.Pada 14 Desember
1957, dalam rangka nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda,Hotel NV
Mijn De Boer diambil alih pemerintah Indonesia.
Letjen Jamin Ginting, Panglima T7T-I/BB, sebagai
pengurus Militer Daerah Provinsi Sumut diserahi kuasa dari pihak pengurus/kuasa
NV Hotel Mijn De Boer dan NV Grend Hotel, yaitu Hendrik Erselink. Hingga saat
ini, bangunan eks Hotel De Boer masih dipertahankan. Posisinya berada di bagian
tengah yang berlantai dua dan memiliki 51 kamar. Sementara itu, Hotel Wisma
Deli yang didirikan pada 1965 mulanya merupakan tempat akomodasi yang fungsinya
semacam mes dengan restoran dan bar.Namun, melihat perkembangannya secara
bertahap, hotel ini memperluas operasionalnya.Pada 1968,mereka merampungkan
penambahan tiga kamar sehingga total menjadi 15 kamar.
Pada 1970, perluasan dan penambahan kamar telah
dilakukan dengan mendirikan bangunan bertingkat III di tambah ground floor
sehingga kamarnya menjadi 24 unit. Kemudian, menurut Sahrial, pada 1975 kembali
dilakukan perluasan dengan pembangunan gedung bertingkat dua dengan jumlah
kamar yang dibangun sebanyak 10 unit sehingga tersedia 49 kamar. Saat ini,Hotel
Inna Dharma Deli secara keseluruhan telah memiliki 176 kamar dan bangunan yang
digunakan untuk kantor.”Saat ini, bangunan hotel kami terbagi tiga
bagian,pertama High Risebuilding yang terdiri atas delapan tingkat dengan 82
kamar.Kemudian, eks Hotel De Boer dua tingkat dengan 51 kamar dan terakhir
Garden Wing atau eks Wisma Deli dengan 49 kamar,” paparnya.
Sales Executive Hotel Inna Dharma Deli Nelly Gultom
menambahkan, manajemen hotel masih berupaya tetap mempertahankan bangunan eks
Hotel De Boer. Bahkan, bangunan hotel warisan Belanda ini sama sekali tidak
mengalami perubahan.”Tidak ada yang kami ubah. Kami hanya melakukan pengecatan
dan penggantian keramik lantai karena banyak keramiknya yang pecah,”ungkapnya.
Berdasarkan pantauan SINDO, bangunan hotel eks De Boer yang berada di posisi
tengah memang masih seperti bangunan yang dulu mirip dengan foto
aslinya.Arsitektur bangunan hingga ornamen tempo dulu tetap dipertahankan.
Peneliti dari Pusat Studi Ilmu Sejarah dan Ilmu Sosial
(Pusis) Unimed Eron Damanik mengungkapkan, mereka sudah beberapa kali meninjau
keberadaan Hotel Dharma Deli. Hingga saat ini, bangunan eks Hotel De Boer itu
masih dipertahankan. ”Dari penelitian yang kami lakukan paling tidak 80%
bangunan Hotel De Boer masih tetap dipertahankan.Kebijakan ini merupakan hal
yang baik sehingga Hotel Dharma Deli tidak sekadar tempat menginap, tetapi
pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang sejarah hotel itu,” paparnya.